Jumat, 13 Januari 2012

KOPERASI MENGHADAPI ERA GLOBALISASI


Membangun sistem perekonomian pasar yang berkeadilan sosial tidaklah cukup dengna sepenuhnya menyerahkan kepada pasar. Namun juga sangatlah tidak bijang apabila menggantungkan upaya korektif terhadap ketidakberdayaan pasar menjawab  masalah ketidakadilan pasar sepenuhnya kepada pemerintah.
Koperasi sebagai suatu gerakan dunia telah membuktikan diri dalam meawan ketidakadilan pasar karena hadirnya ketidaksempurnaan pasar. Bahkan cukup banyak contoh bukti keberhadilan koperasi dalam membangun posisinya. Namun koperasi indonesia memang tidak tumbuh secemerlang sejarah koperasi di barat dan sebagian lain tidak berhasil ditumbuhkan dengna percepatan yang beriringan dengan kepentingan program pembangunan lainnya oleh Pemerintah.
Sekarang ini dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi dapat terlihat bahwa keberadaannya kurang berkembang. Dan dikhawatirkan semakin hari akan semakin menghilang. Maka untuk dapat mempertahankan koperasi dalam menghadapi era globalisasi, ada kiranya dapat dilakukan hal-hal berikut ini :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi. 
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan.   Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya masing-masing.  Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia.  Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya.  Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi.  Jika tidak diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.  
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum. 
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank.  Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank.  Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA).  Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain.  Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan.  Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri.  Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.  
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk  berkembang. 
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya.  Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya.  Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi  di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi. 
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar.  Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut.  Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah.  Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan.  Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut.  Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.  
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.  
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha).  Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi.  Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual.   Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder.  Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi.  Mengenai hubungan koperasi primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang bersifat artifisial karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan bisnis yang tidak berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.  
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya. 
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah.  Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan.  Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih  tepat dan dibutuhkan.  
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat.  Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan.  Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi.  Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya.  Di media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri.  Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan.   Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.  
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah.  Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional.  Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi  relatif terbatas.  Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri.  Kelembagaan yang diadakan pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri.  Demikian pula dengan kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya.   Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan berbagai kepentingannya.  

Kamis, 12 Januari 2012

Program Corporate Social Responsibility (CSR)

Bandung (Citra Indonesia): Aqua, salah satu produsen air minum dalam kemasan, kehadirannya di tengah masyarakat tidak  hanya sebagai pedagang air minum semata. Tetapi kegiatan mereka juga ada yang bersifat kemanusiaan.
Kegiatan sosial dan kemanusiaan misalnya dilakukan melalui program corporate social responsibility/CSR. Manajemen melakukan hal itu mensukseskan program pemerintah.
Binahidra Logiardi, Senior Manager CSR Aqua Danone, kepada wartawan dalam diskusi Forwad bertajuk  “Pentingnya Daya Saing di Tengah Ketatnya Persaingan Global”, Minggu  (13/2/2011) di Bandung, mengatakan program terus dipantau di lapangan.
“Misalnya masalah penghijauan lingkungan, kerja sama sekolah- sekolah, ke Pemda dan masyarakat sekitarnya. Ini terus kita lakukan. Sebab kami tidak hanya berjualan air minum, masyarakat pun menjadi perhatian kami, sejak dulu, sekarang dan ke depan,” katanya.
Binhardi juga mengakui, manejemen berkontribusi kepada para petani di sekitarnya. “Ini dalam rangka pemberdayaan ekonomi, kita harapkan muncul wirausaha baru, kemudian mendorong koperasi, pelatihan keterampilan. Yang lebih penting lagi, kita membimbing mereka terhadap sistem pengelolaan keuangan,” paparnya.
Sementara itu Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik mengatakan CSR itu harus dilaksanakan minimal 5 tahun berturut- turut.
“Salah satu contoh program CSR paling berhasil menurut saya adalah dilakukan oleh salah satu produsen di Kaliberantas, Jatim. Dulu, rumah penduduk di situ membelakangi Kali Berantas. Merekapun membuang sampah sembarangan ke Kali. Nah oleh perusahaan itu, tata letak rumah penduduk dirobah total,”.
“Sekarang rumah rakyat di sana menghadap ke Kali Berantas. Kemudian merawatnya. Itu contoh bagus,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan banyak program CSR yang tidak berhasil. Seperti dilakukan perusahaan UKM binaan BUMN. “Lihat di pameran- pameran. Pameran di JCC umpamanya, Produk UKM binaannya BUMN banyak yang sama. Lalu mereka mau jual kemana. Menurut saya pola pembinaan seperti itu salah,” pungkasnya.
Program- program CSR yang salah lainnya, kata dia, seperti Khitanan anak- anak laki . Itu tidak perlu di sebut program CSR. “Masa khitan anak  masuk CSR. Berapa orang sih jumlahnya? Biayanya kan nggak seberapa. Padahal dana CSR itu besar. Jadi Khitanan itu kurang masuk akal kalau masuk CSR,” ujarnya. (oloan siregar)


 Analisis Singkat
Dari berita diatas menurut saya tujuan CSR dalam perusahaan sangatlah bagus. Karena mereka memperhatikan konsumen, peduli lingkungan serta membenahi keadaan lingkungan yang memang rusak / tidak seharusnya. Contohnya seperti program Aqua tersebut. Mereka melihat lingkungan yang keadaannya sudah sering banjir, karena itulah dicanangkan program CSR yaitu penghijauan lingkungan.
Namun kalau kita lihat didalam program ini menurut saya ada kekurangan. Karena seharusnya panitia CSR mengajarkan dan menanamkan program peduli kebersihan. Agar masyarakat tidak seenaknya membuang sampah terutama di kali. Karena sekarang ini saya lihat kali sudah menjadi tempat pembuangan sampah. Dan apabila masyarakat dibiarkan seperti itu, maka kali akan tersumbat, air nya meluap dan terjadilah banjir.