Membangun sistem
perekonomian pasar yang berkeadilan sosial tidaklah cukup dengna sepenuhnya
menyerahkan kepada pasar. Namun juga sangatlah tidak bijang apabila
menggantungkan upaya korektif terhadap ketidakberdayaan pasar menjawab masalah ketidakadilan pasar sepenuhnya kepada
pemerintah.
Koperasi sebagai
suatu gerakan dunia telah membuktikan diri dalam meawan ketidakadilan pasar
karena hadirnya ketidaksempurnaan pasar. Bahkan cukup banyak contoh bukti
keberhadilan koperasi dalam membangun posisinya. Namun koperasi indonesia
memang tidak tumbuh secemerlang sejarah koperasi di barat dan sebagian lain
tidak berhasil ditumbuhkan dengna percepatan yang beriringan dengan kepentingan
program pembangunan lainnya oleh Pemerintah.
Sekarang ini dalam
kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka
mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi dapat terlihat
bahwa keberadaannya kurang berkembang. Dan dikhawatirkan semakin hari akan
semakin menghilang. Maka untuk dapat mempertahankan koperasi dalam menghadapi
era globalisasi, ada kiranya dapat dilakukan hal-hal berikut ini :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan
mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Beberapa koperasi pada beberapa
bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik,
bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang
bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk
usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe,
serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya
masing-masing. Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk
dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip
perkoperasian Indonesia. Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah
berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus dalam
melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan
Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha
dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi
kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu
sendiri.
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan
pelayanan usaha umum.
Hal yang menonjol adalah dalam
interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan usaha koperasi dengan
kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan
berbagai ketentuan bank. Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi
dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan
bank (contoh : kredit KKPA). Hal yang sama juga terjadi jika koperasi
akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini
berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat
badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya
kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut
badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri. Hal ini
terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan,
dan sebagainya.
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi
koperasi kecil untuk berkembang.
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada
saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana
mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan
sebagainya. Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak
ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya. Hal yang sama juga dihadapi
oleh sebuah koperasi di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi
mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan
teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat
dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai
permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk
melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi.
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan
sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya
dimonopoli oleh pengusaha besar. Para pengusaha tersebut juga masih harus
bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku
tersebut. Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang
sudah ditentukan oleh pemerintah. Hal yang sama juga dihadapi oleh
pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku
‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering
mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan. Contoh-contoh
diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi
cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para
pengusaha tersebut. Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai
bidang usaha lain di berbagai tempat.
5. Pengembangan kerjasama usaha antar
koperasi.
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini
banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha).
Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi
kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan
usaha antar koperasi. Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan
diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi
oleh koperasi secara individual. Jaringan kerjasama dan keterkaitan
usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk
dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder.
Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah
kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi
kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi. Mengenai hubungan
koperasi primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang bersifat
artifisial karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan bisnis yang
tidak berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada
umumnya.
Kemampuan usaha koperasi :
permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah. Telah cukup
banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun
masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan
kebutuhan. Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan
untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih
tepat dan dibutuhkan.
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi
tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui
bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan.
Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap
koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang
penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu,
justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak
mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya. Di media massa, berika
negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya
(PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita
yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai
daerah cukup banyak dan berarti. Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan
mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan
koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut
juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga
menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan
pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang
‘sudah seharusnya’ demikan. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi
secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat
perhatian.
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki
asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya,
bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan
meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah. Asosiasi
tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana
pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan
internasional. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi
wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan
keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi)
tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota
koperasi atau koperasi itu sendiri. Kelembagaan yang diadakan pemerintah
untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk
menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru berhubungan
dengan kepentingan pemerintah itu sendiri. Demikian pula dengan
kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar
kiprahnya. Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang
dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan
berbagai kepentingannya.