Minggu, 30 September 2012

JURNAL EKONOMI



I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak terlepas dari perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan UMKM terutama sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja.
Kinerja UMKM dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan besaran Produk Domestik Bruto yang diciptakan UMKM dalam tahun 2003 mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun (56,7 persen dari PDB). Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2003 mencapai 42,4 juta, sedangkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor ini tercatat 79,0 juta pekerja. Pertumbuhan PDB UMKM periode 2000 – 2003 ternyata lebih tinggi daripada total PDB, yang sumbangan pertumbuhannya lebih besar dibandingkan dengan Usaha Besar.
Perkembangan sektor UMKM yang demikian menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan usaha menengah yang tangguh, seperti yang terjadi saat perkembangan usaha-usaha menengah di Korea Selatan dan Taiwan. Namun, disisi yang lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan.
Keterbatasan akses sumber-sumber pembiayaan yang dihadapi oleh UMKM khususnya pelaku Usaha Kecil dan Mikro (UKM)3 terutama dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti perbankan, menyebabkan mereka bergantung pada sumber-sumber informal. Bentuk dari sumber-sumber ini beraneka ragam mulai dari pelepas uang (rentenir) hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan bentuk-bentuk yang lain.
Dalam perkembangannya, lembaga-lembaga keuangan informal ini lebih mengena di kalangan pelaku UKM karena sifatnya yang lebih fleksibel, misalnya dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman yang tidak seketat persyaratan perbankan maupun keluwesan pada pencairan kredit. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal sesuai dengan kebutuhan pelaku UKM, yang umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai skala dan sifat usaha kecil. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal ini kemudian disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Namun sangat disayangkan, bahwa keberadaan LKM belum mendapat tempat yang jelas dalam perekonomian nasional sebagaimana lembaga keuangan lainnya seperti perbankan (termasuk didalamnya BRI unit dan BPR), asuransi, perusahaan pembiayaan. Keberadaan perbankan telah diatur secara jelas dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dengan Bank Indonesia sebagai motor penggeraknya, bahkan terdapat penjaminan oleh pemerintah berupa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang semakin mengukuhkan keberadaan perbankan. Kondisi ini akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan keberadaan LKM yang telah jelas mempunyai kontribusi pada pelaku UKM yang peranannya dalam PDB sangat besar.
Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih menitikberatkan bentuk-bentuk transfer atau subsidi, padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus diatasi dengan cara tersebut. Aspek yang lebih penting adalah memutus mata rantai kemiskinan yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat miskin menjadi produktif, yang dalam pepatah disebut “jangan berikan umpannya tapi berikanlah kailnya”, sehingga sangat relevan jika mengupayakan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional.
1.2 Perumusan Masalah
Kondisi tersebut di atas jika berjalan terus, maka secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi upaya pemerintah dalam menekan angka kemiskinan. Karena pelaku UKM pada dasarnya adalah lapisan masyarakat yang ditinjau dari besaran pendapatan lebih berpotensi mendekati masyarakat miskin, namun mereka masih mempunyai kemauan untuk melakukan usaha produktif. Jika UKM terus mendapat hambatan dalam berusaha - termasuk kesulitan mengaskes sumber-sumber pembiayaan – maka potensi menjadi masyarakat miskin akan menjadi kenyataan.
Berdasarkan kondisi tersebut, sangat penting upaya untuk menjawab bagaimana memperluas akses-akses pembiayaan bagi para pelaku UKM dan pada saat yang bersamaan peranan LKM terus berkembang sekaligus mampu menjawab kebutuhan UKM walaupun porsinya masih terbatas. Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam tulisan ini adalah:
(1) Bagaimana menjadikan LKM semakin berkembang bahkan menjadi salah satu pilar dari sistem keuangan nasional?
(2) Bagaimana meningkatkan peran LKM dalam mendukung pemberdayaan UKM?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang diinginkan dalam tulisan ini meliputi:
1. Menganalisis peranan LKM sebagai sumber pembiayaan UKM,
2. Menganalisis potensi dan permasalahan LKM yang dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan di masa depan, yang memungkinkan menjadi salah satu pilar sistem keuangan nasional.
1.4 Sumber Data dan Metodologi
Data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, Pegadaian, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) serta sumber lainnya yang terkait. Sementara alat analisis yang dipakai adalah bersifat deskriptif. Studi kepustakaan, baik yang berasal dari buku teks maupun jurnal/majalah merupakan sumber yang sangat penting, begitu pula diskusi dengan teman seprofesi guna mempertajam analisisnya.

II. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
2.1 Kaitan Lembaga Keuangan Mikro dengan Kemiskinan
Lembaga keuangan mempunyai fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas suatu perekonomian. Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah. Aktifitas ekonomi disini tidak membedakan antara usaha yang dilaksanakan tersebut besar atau kecil, karena yang membedakan hanya besarnya nilai tambah berdasarkan skala usaha. Hal ini berarti bahwa usaha kecilpun jika memanfaatkan lembaga keuangan juga akan memberikan kenaikan nilai tambah, sehingga upaya meningkatkan pendapatan masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara yang produktif dengan memanfaatkan jasa intermediasi lembaga keuangan, termasuk usaha produktif yang dilakukan oleh masyarakat miskin.
Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana dan program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat berupa transfer payment dari pemerintah misalnya, program pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana, maupun usaha yang bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Secara hipotesis, kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan berkembang akan terentaskan karena menjadi pengusaha atau karena trickle down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro (Krisna Wijaya: 2005).
Menurut Marguiret Robinson (2000), pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu upaya yang ampuh dalam menangani kemiskinan. Hal tersebut didasarkan bahwa pada masyarakat miskin sebenarnya terdapat perbedaan klasifikasi diantara mereka, yang mencakup: pertama, masyarakat yang sangat miskin (the extreme poor) yakni mereka yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif, kedua, masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor), dan ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.
Pendekatan yang dipakai dalam rangka pengentasan kemiskinan tentu berbeda-beda untuk ketiga kelompok masyarakat tersebut agar sasaran pengentasan kemiskinan tercapai. Bagi kelompok pertama akan lebih tepat jika digunakan pendekatan langsung berupa program pangan, subsidi atau penciptaan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi kelompok kedua dan ketiga, lebih efektif jika digunakan pendekatan tidak langsung misalnya penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan UKM, pengembangan berbagai jenis pinjaman mikro atau mensinergikan UKM dengan para pelaku Usaha Menengah maupun Besar.
2.2 Lembaga Keuangan Mikro
Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families” (Kompas, 15 Maret 2005). Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun.
Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and low-income households and their microenterprises). Sedangkan bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal misalnya pelepas uang.
LKM di Indonesia menurut Bank Indonesia dibagi menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank. LKM yang berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat non bank adalah koperasi simpan pinjam (KSP), unit simpan pinjam (USP), lembaga dana kredit pedesaan (LDKP), baitul mal wattanwil (BMT), lembaga swadaya masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA, kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan peminjaman menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya.

III. Analisis Perkembangan LKM dan UKM dalam Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Menganalisis keberadaan LKM tidak terlepas perkembangan UKM dan perkembangan LKM itu sendiri di Indonesia. Keberadaan LKM muncul seiiring dengan pesatnya aktifitas UKM namun di sisi lain dihadapkan pada kendala keterbatasan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Pembahasan disini akan diawali dengan perkembangan UKM, kemudian dilanjutkan dengan darimana UKM memperoleh sumber-sumber permodalan, perkembangan LKM dan diakhiri dengan uraian potensi dan permasalahan LKM di masa mendatang.
3.1 Perkembangan UKM
Berdasarkan Data BPS tahun 2005, kondisi UKM periode 2001 sampai 2004 menunjukkan perkembangan positif. Selama periode ini, kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto rata-rata mencapai 56,04 persen. Secara sektoral aktivitas UKM ini mendominasi sektor pertanian, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran. Sektor-sektor ini merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
Kemampuan sektor usaha dalam menciptakan nilai tambah sangat berbeda antara satu kelompok usaha dengan lainnya dan mencerminkan karakteristik masing-masing pelaku usaha. Data BPS tahun 2005, menunjukkan bahwa dari jumlah 43,22 juta unit UKM tahun 2004 meningkat 1,61 persen dibandingkan dengan tahun 2003, dan jumlah ini merupakan bagian terbesar pelaku usaha di Indonesia. Sementara tenaga kerja yang diserap oleh UKM tahun 2004 mencapai 70,92 juta orang, turun 0,25 persen dibandingkan tahun 2003.
Perkembangan kontribusi UKM dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja selama periode diatas menggambarkan produktivitas pelaku UKM. Produktivitas Usaha Kecil sebesar Rp10,37 juta per tenaga kerja tahun 2003, meningkat cukup besar pada tahun 2004 menjadi Rp11,57 juta per tenaga kerja. Sementara itu produktivitas kelompok Usaha Menengah dan Besar pada tahun 2003 masing-masing sebesar Rp33,70 juta dan Rp1,87 miliar per tenaga kerja per tahun. Pada tahun 2004 besaran ini meningkat masing-masing menjadi Rp38,71 juta dan Rp2,22 miliar per tenaga kerja per tahun.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa masing-masing kelompok usaha memiliki keunggulan komparatif dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Kelompok Usaha Besar memiliki potensi sebagai motor pertumbuhan, sementara kelompok Usaha Kecil sebagai penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga kerja. Namun, hal ini juga memperlihatkan bahwa unit-unit usaha kecil dan menengah pada umumnya masih menjadi sandaran hidup masyarakat kecil yang jumlahnya besar.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan UKM masih menunjukkan perkembangan yang bervariasi. Data Survei Usaha Tertintegrasi (SUSI) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2001, menunjukkan bahwa dari 14.660.645 UKM yang tidak berbadan hukum, tercatat 2.131.810 UKM yang memanfaatkan pinjaman dalam upaya mendukung proses pengembangan usahanya. Sumber – sumber permodalan yang tersedia bagi UKM dikategorikan dalam perbankan, koperasi, lembaga keuangan non bank, modal ventura, perorangan, keluarga/famili, dan lain-lain. Dari total UKM yang memanfaatkan pinjaman, sumber pinjaman yang berasal dari lain-lain masih menduduki posisi teratas dalam memberikan pelayanan terhadap kebutuhan permodalan UKM yaitu sebanyak 639.688 UKM atau 30,01 persen, koperasi mampu memberikan pelayanan kepada 84.037 UKM atau 3,94 persen, selebihnya adalah dari sumber perorangan sebanyak 605.191 UKM atau 28,39 persen; perbankan sebanyak 361.688 UKM atau 16,97 persen; keluarga/famili sebanyak 350.419 UKM atau 16,44 persen; lembaga keuangan non bank sebanyak 74.785 UKM atau 3,51 persen dan modal ventura sebanyak 16.002 UKM atau 0,75 persen.
Sedangkan pada survei yang dilakukan pada tahun 2002, hasilnya menunjukkan adanya perubahan dibandingkan tahun 2001 dimana sumber permodalan koperasi tercatat mampu memberikan pelayanan kepada 101.025 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 20,21 persen. Perorangan sebanyak 742.326 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 22,66 persen, Keluarga/famili sebanyak 413.174 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 17,91 persen.
UKM atau mengalami peningkatan sebesar 6,55 persen dan sumber permodalan lainnya sebanyak 661.629 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 3,43 persen. Sedangkan sumber permodalan yang berasal dari modal ventura mengalami penurunan dari tahun sebelumnya hingga mencapai 50,18 persen yaitu dari 16.002 UKM menjadi 7.972 UKM. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar UKM belum tersentuh oleh lembaga-lembaga keuangan.
Sedangkan dilihat dari lembaga keuangan formal yang identik dengan perbankan, pemberian berbagai kredit untuk membantu permodalan UKM sangat kecil persentasenya jika dibandingkan dengan jumlah kredit yang diberikan kepada pelaku Usaha Besar. Bahkan dalam rentang tahun 2000 sampai dengan 2004 kredit yang diberikan kepada UMKM porsinya semakin mengecil. Hal ini semakin memperjelas bahwa hanya menggantungkan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan formal tidak akan mampu mengembangkan UKM, oleh karena itu perlu dikembangkan alternatif sumber-sumber pembiayaan yang mampu menjawab kebutuhan UKM yaitu LKM.
3.2 Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro dan Permasalahannya
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terjadi seiring dengan perkembangan UKM serta masih banyaknya hambatan UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Selain itu berkembangnya LKM juga tidak terlepas dari karakterisitik LKM yang memberikan kemudahan kepada pelaku UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan.
Walaupun biaya atas dana pinjaman dari LKM lebih tinggi sedikit dari tingkat bunga perbankan, LKM memberikan kelebihan misalnya berupa tiadanya jaminan/agunan seperti yang dipersyaratkan oleh perbankan bahkan dalam beberapa jenis LKM pinjaman didasarkan pada kepercayaan karena biasanya peminjam beserta aktivitasnya sudah dikenal oleh LKM, kemudahan yang lain adalah pencairan dan pengembalian pinjaman yang fleksibel yang juga sering disesuaikan dengan cash flow peminjam.
Jenis LKM lebih banyak didominasi oleh Unit Simpan Pinjam (USP), namun dari aspek besarnya perputaran pinjaman lebih didominasi oleh perbankan yaitu BRI Unit dan BPR. Hal ini terjadi karena skim kredit yang ditawarkan oleh BRI Unit dan BPR lebih besar daripada USP.
jumlah UMKM yang berjumlah 42 jutaan ternyata yang menikmati akses permodalan dari lembaga-lembaga keuangan baik perbankan maupun LKM hanya sebesar 22,14 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa fungsi intermediasi lembaga perbankan tidak berjalan dengan baik serta masih lebarnya permasalahan yang dihadapi oleh UMKM. Namun, di sisi yang lain hal ini juga memberikan potensi yang sangat besar dalam penyaluran kredit karena masih terbuka pasar yang luas untuk skim-skim kredit skala mikro.
Selain berbagai peluang diatas, perkembangan LKM masih dihadapkan pada berbagai kendala baik hambatan internal LKM maupun kondisi eksternal LKM yang kurang kondusif. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh LKM adalah aspek kelembagaan, yang antara lain mengakibatkan bentuk LKM beraneka ragam. BRI Unit dan BPR sebagai bagian dari LKM secara kelembagaan lebih jelas karena mengacu pada ketentuan perbankan dengan pembinaan dari Bank Indonesia, sehingga LKM jenis ini lebih terarah bahkan terjamin kepercayaannya karena merupakan bagian dari kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan berhak mendapatkan fasilitas dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sedangkan pada LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam, segala ketentuan operasional dan arah pengembangannya mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Bahkan, bagi LKM lainnya yang berbentuk Bank Kredit Desa, LDKP, credit union maupun lembaga non pemerintah lainnya tidak jelas kelembagaan dan pembinaannya. Padahal, fungsi LKM tidak berbeda dengan lembaga perbankan formal dalam hal sebagai lembaga intermediasi keuangan, yang didalamnya juga mengemban kepercayaan dari nasabah atau anggota yang menempatkan dananya. Kondisi kelembagaan yang beragam dan tidak jelas tersebut, akan dapat mempersulit pengembangan LKM di masa mendatang. Padahal secara fakta LKM mempunyai peranan yang signifikan dalam mendukung perkembangan UKM.
Selain masalah eksternal di atas, LKM juga dihadapkan masalah internal yang menyangkut aspek operasional dan pemberdayaan usaha. Masalah pertama menyangkut kemampuan LKM dalam menghimpun dana, sebagian besar LKM masih terbatas kemampuannya karena masih bergantung sedikit banyaknya anggota atau besaran modal sendiri. Kemampuan SDM LKM dalam mengelola usaha sebagian besar masih terbatas, sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi perkembangan usaha LKM bahkan dapat menghambat.
3.3 Dampak Keberadaan LKM Dalam Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Sebagaimana diketahui bahwa pinjaman mikro dapat digunakan membantu UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan, dan karakteristik UKM jika dilihat dari aspek pendapatan lebih mendekati kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) dan masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak. Kelompok masyarakat ini akan cenderung tetap berpenghasilan rendah bahkan menjadi miskin, jika kesulitan yang mereka hadapi dalam melakukan aktifitas usaha tetap dibiarkan tanpa ada usaha-usaha perbaikan.
Keberadaan LKM yang relatif mampu menjawab kesulitan tersebut ternyata selaras dengan perkembangan UKM. Walaupun kontribusi dalam pembiayaan dalam skala nasional masih kecil dibandingkan dengan peran lembaga perbankan formal, namun terdapat potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan LKM untuk memperbesar perannya dalam pembiayaan UKM yang ditunjukkan dengan masih banyak jumlah UKM yang belum memanfaatkan akses pembiayaan dari lembaga keuangan serta masih sulitnya akses pembiayaan dari lembaga perbankan. Sehingga tumpuan terbesar adalah LKM.
3.4 Upaya-upaya Pemecahan Masalah
Berpijak pada kondisi dan permasalahan LKM diatas, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan guna mengembangkan LKM dan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari sistem keuangan nasional yang mencakup:
3.4.1 Memperkuat kelembagaan LKM
Keberadaan LKM tersebar di berbagai bidang dengan instansi pembina yang berbeda-beda mulai dari Bank Indonesia, Departemen/Dinas Perkoperasian dan UKM hingga pemerintah daerah. Kondisi ini terjadi karena belum ada ketentuan yang mengatur secara jelas keberadaan LKM, walaupun ada masih parsial. Kelembagaan ini sangat penting karena secara hukum akan melandasi operasional mereka, namun harus dihindari dengan adanya ketentuan akan menghambat perkembangan LKM itu sendiri. Upaya yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah dengan merancang Rancangan Undang-Undang tentang LKM hendaknya dilakukan secara intensif dan mendalam dalam arti muatan RUU ini harus mencerminkan karakteristik LKM di Indonesia, agar tujuan yang diinginkan tercapai.
Aspek lain yang perlu diperhatikan, bahwa LKM sebagaimana lembaga-lembaga keuangan formal lainnya menempatkan faktor kepercayaan sebagai hal yang utama dalam perekonomian. Jika Bank Indonesia mempunyai Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai blue print dalam mengembangkan dan memperkuat lembaga perbankan menjadi industri keuangan yang tangguh, maka pemerintah hendaknya juga memiliki blue print yang sama dalam pengembangan dan penguatan industri LKM. Kenyataan menunjukkan industri perbankan yang tangguh tidak otomatis mengangkat UKM menjadi lebih besar, karena sangat sedikit porsi pembiayaan yang disediakan untuk pelaku UKM.
Bila LKM sudah diarahkan untuk menjadi lebih kuat, maka harus dilanjutkan dengan dukungan yang lain, misalnya banyak LKM yang mengandalkan penerimaannya dari sumber-sumber pihak ketiga yang mayoritas dari perorangan. Untuk memberi rasa aman dan percaya masyarakat kepada eksistensi LKM wajar jika pemerintah memberikan jaminan atas uang yang telah ditempatkan masyarakat kepada LKM, misalnya semacam jaminan atas simpanan yang ditempatkan para nasabah di lembaga perbankan. Begitu pula dengan kredit yang telah disalurkan kepada masyarakat.
3.4.2 Komitmen dalam Memperkuat UKM
Perkembangan LKM pada dasarnya mengikuti perkembangan aktifitas usaha para pelaku UKM, jika UKM semakin menghasilkan nilai tambah yang semakin besar maka kebutuhan akan pembiayaan bagi UKM semakin besar pula yang berarti pasar usaha LKM semakin terbuka luas. Sehingga usaha-usaha untuk memperkuat UKM menjadi bagian yang tidak terpisahkan jika menginginkan LKM semakin kuat.
Sebagaimana diawal telah diungkapkan, masalah pokok UKM mencakup pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan. Masalah pertama dan kedua yang akan menjadi pusat perhatian, upaya untuk membuka pasar secara luas terhadap produk-produk UKM merupakan hal yang utama. Begitu pula upaya-upaya pendampingan dalam penguatan dan pengembangan usaha UKM masih terbuka untuk dijalankan.

IV. Penutup
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka kesimpulan yang bisa diketengahkan adalah sebagai berikut:
1. Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, antara lain dengan memperluas akses Usaha Kecil dan Mikro (UKM) dalam mendapatkan fasilitas permodalan yang tidak hanya bersumber dari lembaga keuangan formal tapi juga dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
2. LKM ternyata mampu memberikan berbagai jenis pembiayaan kepada UKM walaupun tidak sebesar lembaga keuangan formal, sehingga dapat menjadi alternatif pembiayaan yang cukup potensial mengingat sebagian besar pelaku UKM belum memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan.
3. Potensi yang cukup besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena LKM masih menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan antara lain aspek kelembagaan yang tumpah tindih, keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan LKM dan kecukupan modal.
4. Upaya untuk menguatkan dan mengembangkan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional, diantaranya yang mendesak adalah menuntaskan RUU tentang LKM agar terdapat kejelasan dalam pengembangan LKM. Serta komitmen pemerintah dalam memperkuat UKM sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengembangan LKM.
4.2 Saran
Sedangkan saran yang relevan dengan pengembangan LKM mencakup:
1. Perlunya strategi jangka panjang yang jelas dalam pengembangan LKM baik cetak biru maupun kelembagaannya sebagaimana strategi yang telah berjalan pada industri perbankan, mengingat kontribusi LKM yang cukup besar dalam pengembangan UKM
2. Perlunya pendalaman dan pengkajian yang lebih intensif tentang karakteristik LKM di Indonesia, agar RUU tentang LKM yang dihasilkan nanti akan menjadikan LKM semakin berkembang dan tangguh bukan sebaliknya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Analisis Jurnal :
1.       Tahun : 2005
2.       Pengarang : Wiloejo Wirjo Wijono
3.       Tema : Ekonomi Perbankan dan Ekonomi Mikro
4.      Judul :  “PEMBERDAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SEBAGAI SALAH SATU PILAR SISTEM KEUANGAN NASIONAL: UPAYA KONKRIT MEMUTUS MATA RANTAI KEMISKINAN”
5.      Masalah :
(1) Bagaimana menjadikan LKM semakin berkembang bahkan menjadi salah satu pilar dari sistem keuangan nasional?
(2) Bagaimana meningkatkan peran LKM dalam mendukung pemberdayaan UKM?
6.       Motivasi penulisan :
a. Menganalisis peranan LKM sebagai sumber pembiayaan UKM,
b. Menganalisis potensi dan permasalahan LKM yang dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan di masa depan, yang memungkinkan menjadi salah satu pilar sistem keuangan nasional.
7.       Metodologi penelitian : Data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, Pegadaian, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) serta sumber lainnya yang terkait. Sementara alat analisis yang dipakai adalah bersifat deskriptif. Studi kepustakaan, baik yang berasal dari buku teks maupun jurnal/majalah merupakan sumber yang sangat penting, begitu pula diskusi dengan teman seprofesi guna mempertajam analisisnya.
8.       Pembahasan :
Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, antara lain dengan memperluas akses Usaha Kecil dan Mikro (UKM) dalam mendapatkan fasilitas permodalan yang tidak hanya bersumber dari lembaga keuangan formal tapi juga dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Upaya untuk menguatkan dan mengembangkan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional, diantaranya yang mendesak adalah menuntaskan RUU tentang LKM agar terdapat kejelasan dalam pengembangan LKM. Serta komitmen pemerintah dalam memperkuat UKM sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengembangan LKM
Dalam perjalanannya, banyak hambatan yang muncul seiring perkembangan LKM. Maka upaya-upaya yang dapat dilakukan guna mengembangkan LKM dan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari sistem keuangan nasional yang mencakup:
  1. Memperkuat kelembagaan LKM
  2. Komitmen dalam Memperkuat UKM
9.   Kesimpulan : agar dapat mengentaskan kemiskinan adalah memperkuat sektor UKM dan LKM dengan cara memperkuat kelembagaan LKM dan juga komitmen dalam memperkuat UKM.
10.    Saran : UKM dan LKM lebih diperhatikan lagi perkembangannya agar dapat membantu keuangan nasional.