I. Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak terlepas dari
perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan UMKM terutama
sejak krisis moneter tahun 1998 dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam
proses pemulihan ekonomi nasional, baik dalam mendorong laju pertumbuhan
ekonomi maupun penyerapan tenaga kerja.
Kinerja UMKM dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan besaran Produk Domestik Bruto yang diciptakan
UMKM dalam tahun 2003 mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun (56,7 persen dari PDB).
Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2003 mencapai 42,4 juta, sedangkan jumlah
tenaga kerja yang bekerja di sektor ini tercatat 79,0 juta pekerja. Pertumbuhan
PDB UMKM periode 2000 – 2003 ternyata lebih tinggi daripada total PDB, yang
sumbangan pertumbuhannya lebih besar dibandingkan dengan Usaha Besar.
Perkembangan sektor UMKM yang demikian
menyiratkan bahwa terdapat potensi yang besar atas kekuatan domestik, jika hal ini
dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik tentu akan dapat mewujudkan usaha
menengah yang tangguh, seperti yang terjadi saat perkembangan usaha-usaha
menengah di Korea Selatan dan Taiwan.
Namun, disisi yang lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang
secara garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada
pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya
pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses
terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya
dari perbankan.
Keterbatasan akses sumber-sumber
pembiayaan yang dihadapi oleh UMKM khususnya pelaku Usaha Kecil dan Mikro (UKM)3
terutama dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti
perbankan, menyebabkan mereka bergantung pada sumber-sumber informal. Bentuk
dari sumber-sumber ini beraneka ragam mulai dari pelepas uang (rentenir)
hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan
bentuk-bentuk yang lain.
Dalam perkembangannya, lembaga-lembaga keuangan
informal ini lebih mengena di kalangan pelaku UKM karena sifatnya yang lebih
fleksibel, misalnya dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman yang tidak
seketat persyaratan perbankan maupun keluwesan pada pencairan kredit. Hal ini
merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan lembaga-lembaga keuangan
informal sesuai dengan kebutuhan pelaku UKM, yang umumnya membutuhkan
pembiayaan sesuai skala dan sifat usaha kecil. Keberadaan lembaga-lembaga
keuangan informal ini kemudian disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Namun sangat disayangkan, bahwa
keberadaan LKM belum mendapat tempat yang jelas dalam perekonomian nasional
sebagaimana lembaga keuangan lainnya seperti perbankan (termasuk didalamnya BRI
unit dan BPR), asuransi, perusahaan pembiayaan. Keberadaan perbankan telah
diatur secara jelas dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dengan Bank Indonesia
sebagai motor penggeraknya, bahkan terdapat penjaminan oleh pemerintah berupa
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang semakin mengukuhkan keberadaan perbankan.
Kondisi ini akan jauh berbeda bila dibandingkan dengan keberadaan LKM yang
telah jelas mempunyai kontribusi pada pelaku UKM yang peranannya dalam PDB
sangat besar.
Upaya pengentasan kemiskinan yang
dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih menitikberatkan bentuk-bentuk
transfer atau subsidi, padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus
diatasi dengan cara tersebut. Aspek yang lebih penting adalah memutus mata
rantai kemiskinan yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan akses yang
lebih luas kepada masyarakat miskin menjadi produktif, yang dalam pepatah
disebut “jangan berikan umpannya tapi berikanlah kailnya”, sehingga
sangat relevan jika mengupayakan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan
nasional.
1.2
Perumusan Masalah
Kondisi tersebut di atas
jika berjalan terus, maka secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi upaya pemerintah dalam menekan angka kemiskinan. Karena pelaku UKM
pada dasarnya adalah lapisan masyarakat yang ditinjau dari besaran pendapatan
lebih berpotensi mendekati masyarakat miskin, namun mereka masih mempunyai
kemauan untuk melakukan usaha produktif. Jika UKM terus mendapat hambatan dalam
berusaha - termasuk kesulitan mengaskes sumber-sumber pembiayaan – maka potensi
menjadi masyarakat miskin akan menjadi kenyataan.
Berdasarkan kondisi
tersebut, sangat penting upaya untuk menjawab bagaimana memperluas akses-akses
pembiayaan bagi para pelaku UKM dan pada saat yang bersamaan peranan LKM terus
berkembang sekaligus mampu menjawab kebutuhan UKM walaupun porsinya masih
terbatas. Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam tulisan ini adalah:
(1)
Bagaimana menjadikan LKM semakin berkembang bahkan menjadi salah satu pilar
dari sistem keuangan nasional?
(2)
Bagaimana meningkatkan peran LKM dalam mendukung pemberdayaan UKM?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan yang diinginkan dalam tulisan ini meliputi:
1.
Menganalisis peranan LKM sebagai sumber pembiayaan UKM,
2.
Menganalisis potensi dan permasalahan LKM yang dapat dijadikan sebagai dasar
pengembangan di masa depan, yang memungkinkan menjadi salah satu pilar sistem
keuangan nasional.
1.4 Sumber
Data dan Metodologi
Data yang digunakan
dalam tulisan ini bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik, Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bank Indonesia, Pegadaian, Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) serta sumber lainnya yang terkait. Sementara alat
analisis yang dipakai adalah bersifat deskriptif. Studi kepustakaan, baik yang
berasal dari buku teks maupun jurnal/majalah merupakan sumber yang sangat
penting, begitu pula diskusi dengan teman seprofesi guna mempertajam
analisisnya.
II. Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
2.1 Kaitan
Lembaga Keuangan Mikro dengan Kemiskinan
Lembaga keuangan mempunyai fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas
suatu perekonomian. Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan
tersebut dapat menghasilkan nilai tambah. Aktifitas ekonomi disini tidak
membedakan antara usaha yang dilaksanakan tersebut besar atau kecil, karena
yang membedakan hanya besarnya nilai tambah berdasarkan skala usaha. Hal ini
berarti bahwa usaha kecilpun jika memanfaatkan lembaga keuangan juga akan
memberikan kenaikan nilai tambah, sehingga upaya meningkatkan pendapatan
masyarakat salah satunya dapat dilakukan dengan cara yang produktif dengan
memanfaatkan jasa intermediasi lembaga keuangan, termasuk usaha produktif yang
dilakukan oleh masyarakat miskin.
Pengentasan kemiskinan dapat dilaksanakan melalui banyak sarana
dan program baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Usaha ini dapat
berupa transfer payment dari pemerintah misalnya, program pangan,
kesehatan, pemukiman, pendidikan, keluarga berencana, maupun usaha yang
bersifat produktif misalnya melalui pinjaman dalam bentuk micro credit.
Secara hipotesis, kaitan antara pemberdayaan kredit mikro dengan
upaya pengentasan kemiskinan merupakan pintu masuk relatif mudah bagi orang
yang akan menjadi pengusaha pemula. Jika pengusaha pemula ini tumbuh dan
berkembang akan terentaskan karena menjadi pengusaha atau karena trickle
down effect dari semakin banyaknya pengusaha mikro (Krisna Wijaya: 2005).
Menurut Marguiret Robinson (2000), pinjaman dalam bentuk micro
credit merupakan salah satu upaya yang ampuh dalam menangani kemiskinan.
Hal tersebut didasarkan bahwa pada masyarakat miskin sebenarnya terdapat
perbedaan klasifikasi diantara mereka, yang mencakup: pertama,
masyarakat yang sangat miskin (the extreme poor) yakni mereka yang tidak
berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif, kedua, masyarakat
yang dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically
active working poor), dan ketiga, masyarakat yang berpenghasilan
rendah (lower income) yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun
tidak banyak.
Pendekatan yang dipakai dalam rangka pengentasan kemiskinan tentu
berbeda-beda untuk ketiga kelompok masyarakat tersebut agar sasaran pengentasan
kemiskinan tercapai. Bagi kelompok pertama akan lebih tepat jika digunakan
pendekatan langsung berupa program pangan, subsidi atau penciptaan lapangan
pekerjaan. Sedangkan bagi kelompok kedua dan ketiga, lebih efektif jika
digunakan pendekatan tidak langsung misalnya penciptaan iklim yang kondusif
bagi pengembangan UKM, pengembangan berbagai jenis pinjaman mikro atau
mensinergikan UKM dengan para pelaku Usaha Menengah maupun Besar.
2.2 Lembaga
Keuangan Mikro
Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997),
kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling
miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan
pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan
keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self-employment
projects that generate income, allowing them to care for themselves and their
families” (Kompas, 15 Maret 2005). Sedangkan Bank Indonesia
mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku
usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan
paling banyak seratus juta rupiah per tahun.
Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro
umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian Development Bank
(ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang
menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans),
pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money
transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance
to poor and low-income households and their microenterprises). Sedangkan
bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi,
(2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3)
sumber-sumber informal misalnya pelepas uang.
LKM di Indonesia menurut Bank Indonesia dibagi menjadi dua
kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank. LKM yang berwujud bank
adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat
non bank adalah koperasi simpan pinjam (KSP), unit simpan pinjam (USP), lembaga
dana kredit pedesaan (LDKP), baitul mal wattanwil (BMT), lembaga swadaya
masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA,
kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit
Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan peminjaman
menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro kebanyakan masih
kesulitan mengaksesnya.
III. Analisis Perkembangan LKM dan UKM dalam Memutus Mata
Rantai Kemiskinan
Menganalisis keberadaan LKM tidak terlepas perkembangan UKM dan
perkembangan LKM itu sendiri di Indonesia.
Keberadaan LKM muncul seiiring dengan pesatnya aktifitas UKM namun di sisi lain
dihadapkan pada kendala keterbatasan mengakses sumber-sumber pembiayaan dari
lembaga-lembaga keuangan formal. Pembahasan disini akan diawali dengan
perkembangan UKM, kemudian dilanjutkan dengan darimana UKM memperoleh
sumber-sumber permodalan, perkembangan LKM dan diakhiri dengan uraian potensi
dan permasalahan LKM di masa mendatang.
3.1 Perkembangan UKM
Berdasarkan Data BPS tahun 2005, kondisi UKM periode 2001 sampai
2004 menunjukkan perkembangan positif. Selama periode ini, kontribusi UKM
terhadap produk domestik bruto rata-rata mencapai 56,04 persen. Secara sektoral
aktivitas UKM ini mendominasi sektor pertanian, bangunan, perdagangan, hotel
dan restoran. Sektor-sektor ini merupakan sektor yang paling banyak menyerap
tenaga kerja.
Kemampuan sektor usaha dalam menciptakan nilai tambah sangat
berbeda antara satu kelompok usaha dengan lainnya dan mencerminkan
karakteristik masing-masing pelaku usaha. Data BPS tahun 2005, menunjukkan
bahwa dari jumlah 43,22 juta unit UKM tahun 2004 meningkat 1,61 persen
dibandingkan dengan tahun 2003, dan jumlah ini merupakan bagian terbesar pelaku
usaha di Indonesia. Sementara tenaga kerja yang diserap oleh UKM tahun 2004
mencapai 70,92 juta orang, turun 0,25 persen dibandingkan tahun 2003.
Perkembangan kontribusi UKM dan kemampuannya dalam menyerap tenaga
kerja selama periode diatas menggambarkan produktivitas pelaku UKM.
Produktivitas Usaha Kecil sebesar Rp10,37 juta per tenaga kerja tahun 2003,
meningkat cukup besar pada tahun 2004 menjadi Rp11,57 juta per tenaga kerja.
Sementara itu produktivitas kelompok Usaha Menengah dan Besar pada tahun 2003
masing-masing sebesar Rp33,70 juta dan Rp1,87 miliar per tenaga kerja per
tahun. Pada tahun 2004 besaran ini meningkat masing-masing menjadi Rp38,71 juta
dan Rp2,22 miliar per tenaga kerja per tahun.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa masing-masing kelompok
usaha memiliki keunggulan komparatif dan saling melengkapi satu dengan lainnya.
Kelompok Usaha Besar memiliki potensi sebagai motor pertumbuhan, sementara
kelompok Usaha Kecil sebagai penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga
kerja. Namun, hal ini juga memperlihatkan bahwa unit-unit usaha kecil dan
menengah pada umumnya masih menjadi sandaran hidup masyarakat kecil yang
jumlahnya besar.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan UKM
masih menunjukkan perkembangan yang bervariasi. Data Survei Usaha Tertintegrasi
(SUSI) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2001, menunjukkan bahwa dari
14.660.645 UKM yang tidak berbadan hukum, tercatat 2.131.810 UKM yang
memanfaatkan pinjaman dalam upaya mendukung proses pengembangan usahanya.
Sumber – sumber permodalan yang tersedia bagi UKM dikategorikan dalam
perbankan, koperasi, lembaga keuangan non bank, modal ventura, perorangan, keluarga/famili,
dan lain-lain. Dari total UKM yang memanfaatkan pinjaman, sumber pinjaman yang
berasal dari lain-lain masih menduduki posisi teratas dalam memberikan
pelayanan terhadap kebutuhan permodalan UKM yaitu sebanyak 639.688 UKM atau 30,01
persen, koperasi mampu memberikan pelayanan kepada 84.037 UKM atau 3,94 persen,
selebihnya adalah dari sumber perorangan sebanyak 605.191 UKM atau 28,39
persen; perbankan sebanyak 361.688 UKM atau 16,97 persen; keluarga/famili
sebanyak 350.419 UKM atau 16,44 persen; lembaga keuangan non bank sebanyak
74.785 UKM atau 3,51 persen dan modal ventura sebanyak 16.002 UKM atau
0,75 persen.
Sedangkan pada survei yang dilakukan pada tahun 2002, hasilnya
menunjukkan adanya perubahan dibandingkan tahun 2001 dimana sumber permodalan
koperasi tercatat mampu memberikan pelayanan kepada 101.025 UKM atau mengalami
peningkatan sebesar 20,21 persen. Perorangan sebanyak 742.326 UKM atau
mengalami peningkatan sebesar 22,66 persen, Keluarga/famili sebanyak 413.174
UKM atau mengalami peningkatan sebesar 17,91 persen.
UKM atau mengalami peningkatan sebesar 6,55 persen dan sumber
permodalan lainnya sebanyak 661.629 UKM atau mengalami peningkatan sebesar 3,43
persen. Sedangkan sumber permodalan yang berasal dari modal ventura mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya hingga mencapai 50,18 persen yaitu dari 16.002 UKM menjadi 7.972
UKM. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar UKM belum tersentuh oleh
lembaga-lembaga keuangan.
Sedangkan dilihat dari lembaga keuangan formal yang identik dengan
perbankan, pemberian berbagai kredit untuk membantu permodalan UKM sangat kecil
persentasenya jika dibandingkan dengan jumlah kredit yang diberikan kepada
pelaku Usaha Besar. Bahkan dalam rentang tahun 2000 sampai dengan 2004 kredit yang
diberikan kepada UMKM porsinya semakin mengecil. Hal ini semakin memperjelas
bahwa hanya menggantungkan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan formal tidak
akan mampu mengembangkan UKM, oleh karena itu perlu dikembangkan alternatif
sumber-sumber pembiayaan yang mampu menjawab kebutuhan UKM yaitu LKM.
3.2
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro dan Permasalahannya
Perkembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terjadi seiring dengan
perkembangan UKM serta masih banyaknya hambatan UKM dalam mengakses sumber-sumber
pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Selain itu
berkembangnya LKM juga tidak terlepas dari karakterisitik LKM yang memberikan
kemudahan kepada pelaku UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan.
Walaupun biaya atas dana pinjaman dari LKM lebih tinggi sedikit
dari tingkat bunga perbankan, LKM memberikan kelebihan misalnya berupa tiadanya
jaminan/agunan seperti yang dipersyaratkan oleh perbankan bahkan dalam beberapa
jenis LKM pinjaman didasarkan pada kepercayaan karena biasanya peminjam beserta
aktivitasnya sudah dikenal oleh LKM, kemudahan yang lain adalah pencairan dan
pengembalian pinjaman yang fleksibel yang juga sering disesuaikan dengan cash
flow peminjam.
Jenis LKM lebih banyak didominasi oleh Unit Simpan Pinjam (USP),
namun dari aspek besarnya perputaran pinjaman lebih didominasi oleh perbankan
yaitu BRI Unit dan BPR. Hal ini terjadi karena skim kredit yang ditawarkan oleh
BRI Unit dan BPR lebih besar daripada USP.
jumlah UMKM yang berjumlah 42 jutaan ternyata yang menikmati akses
permodalan dari lembaga-lembaga keuangan baik perbankan maupun LKM hanya
sebesar 22,14 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa fungsi intermediasi
lembaga perbankan tidak berjalan dengan baik serta masih lebarnya permasalahan
yang dihadapi oleh UMKM. Namun, di sisi yang lain hal ini juga memberikan
potensi yang sangat besar dalam penyaluran kredit karena masih terbuka pasar
yang luas untuk skim-skim kredit skala mikro.
Selain berbagai peluang diatas, perkembangan LKM masih dihadapkan
pada berbagai kendala baik hambatan internal LKM maupun kondisi eksternal LKM
yang kurang kondusif. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh LKM adalah aspek
kelembagaan, yang antara lain mengakibatkan bentuk LKM beraneka ragam. BRI Unit
dan BPR sebagai bagian dari LKM secara kelembagaan lebih jelas karena mengacu
pada ketentuan perbankan dengan pembinaan dari Bank Indonesia, sehingga LKM
jenis ini lebih terarah bahkan terjamin kepercayaannya karena merupakan bagian
dari kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan berhak mendapatkan
fasilitas dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sedangkan pada LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam atau unit
simpan pinjam, segala ketentuan operasional dan arah pengembangannya mengikuti
ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Bahkan, bagi LKM lainnya yang berbentuk Bank Kredit Desa, LDKP, credit union
maupun lembaga non pemerintah lainnya tidak jelas kelembagaan dan
pembinaannya. Padahal, fungsi LKM tidak berbeda dengan lembaga perbankan formal
dalam hal sebagai lembaga intermediasi keuangan, yang didalamnya juga mengemban
kepercayaan dari nasabah atau anggota yang menempatkan dananya. Kondisi
kelembagaan yang beragam dan tidak jelas tersebut, akan dapat mempersulit
pengembangan LKM di masa mendatang. Padahal secara fakta LKM mempunyai peranan
yang signifikan dalam mendukung perkembangan UKM.
Selain masalah eksternal di atas, LKM juga dihadapkan masalah
internal yang menyangkut aspek operasional dan pemberdayaan usaha. Masalah
pertama menyangkut kemampuan LKM dalam menghimpun dana, sebagian besar LKM
masih terbatas kemampuannya karena masih bergantung sedikit banyaknya anggota
atau besaran modal sendiri. Kemampuan SDM LKM dalam mengelola usaha sebagian
besar masih terbatas, sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi
perkembangan usaha LKM bahkan dapat menghambat.
3.3 Dampak
Keberadaan LKM Dalam Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Sebagaimana diketahui bahwa pinjaman mikro dapat digunakan
membantu UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan, dan karakteristik UKM
jika dilihat dari aspek pendapatan lebih mendekati kelompok masyarakat yang
dikategorikan miskin namun memiliki kegiatan ekonomi (economically active
working poor) dan masyarakat yang berpenghasilan rendah (lower income)
yakni mereka yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak. Kelompok
masyarakat ini akan cenderung tetap berpenghasilan rendah bahkan menjadi
miskin, jika kesulitan yang mereka hadapi dalam melakukan aktifitas usaha tetap
dibiarkan tanpa ada usaha-usaha perbaikan.
Keberadaan LKM yang relatif mampu menjawab kesulitan tersebut ternyata
selaras dengan perkembangan UKM. Walaupun kontribusi dalam pembiayaan dalam
skala nasional masih kecil dibandingkan dengan peran lembaga perbankan formal,
namun terdapat potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan LKM untuk memperbesar
perannya dalam pembiayaan UKM yang ditunjukkan dengan masih banyak jumlah UKM
yang belum memanfaatkan akses pembiayaan dari lembaga keuangan serta masih
sulitnya akses pembiayaan dari lembaga perbankan. Sehingga tumpuan terbesar
adalah LKM.
3.4
Upaya-upaya Pemecahan Masalah
Berpijak pada kondisi dan permasalahan LKM diatas, maka
upaya-upaya yang dapat dilakukan guna mengembangkan LKM dan bahkan
menjadikannya sebagai bagian dari sistem keuangan nasional yang mencakup:
3.4.1 Memperkuat kelembagaan LKM
Keberadaan LKM tersebar di berbagai bidang dengan instansi pembina
yang berbeda-beda mulai dari Bank Indonesia, Departemen/Dinas
Perkoperasian dan UKM hingga pemerintah daerah. Kondisi ini terjadi karena
belum ada ketentuan yang mengatur secara jelas keberadaan LKM, walaupun ada
masih parsial. Kelembagaan ini sangat penting karena secara hukum akan
melandasi operasional mereka, namun harus dihindari dengan adanya ketentuan
akan menghambat perkembangan LKM itu sendiri. Upaya yang saat ini sedang
dilakukan oleh pemerintah dengan merancang Rancangan Undang-Undang tentang LKM
hendaknya dilakukan secara intensif dan mendalam dalam arti muatan RUU ini
harus mencerminkan karakteristik LKM di Indonesia, agar tujuan yang
diinginkan tercapai.
Aspek
lain yang perlu diperhatikan, bahwa LKM sebagaimana lembaga-lembaga keuangan
formal lainnya menempatkan faktor kepercayaan sebagai hal yang utama dalam
perekonomian. Jika Bank Indonesia mempunyai Arsitektur Perbankan Indonesia
(API) sebagai blue print dalam mengembangkan dan memperkuat lembaga
perbankan menjadi industri keuangan yang tangguh, maka pemerintah hendaknya
juga memiliki blue print yang sama dalam pengembangan dan penguatan
industri LKM. Kenyataan menunjukkan industri perbankan yang tangguh tidak
otomatis mengangkat UKM menjadi lebih besar, karena
sangat sedikit porsi pembiayaan yang disediakan untuk pelaku UKM.
Bila LKM sudah diarahkan untuk menjadi lebih kuat, maka
harus dilanjutkan dengan dukungan yang lain, misalnya banyak LKM yang
mengandalkan penerimaannya dari sumber-sumber pihak ketiga yang mayoritas dari
perorangan. Untuk memberi rasa aman dan percaya masyarakat kepada eksistensi
LKM wajar jika pemerintah memberikan jaminan atas uang yang telah ditempatkan
masyarakat kepada LKM, misalnya semacam jaminan atas simpanan yang ditempatkan
para nasabah di lembaga perbankan. Begitu pula dengan kredit yang telah
disalurkan kepada masyarakat.
3.4.2 Komitmen dalam
Memperkuat UKM
Perkembangan LKM pada dasarnya mengikuti perkembangan aktifitas
usaha para pelaku UKM, jika UKM semakin menghasilkan nilai tambah yang semakin
besar maka kebutuhan akan pembiayaan bagi UKM semakin besar pula yang berarti
pasar usaha LKM semakin terbuka luas. Sehingga usaha-usaha untuk memperkuat UKM
menjadi bagian yang tidak terpisahkan jika menginginkan LKM semakin kuat.
Sebagaimana diawal telah diungkapkan, masalah pokok UKM
mencakup pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas
produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan
penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber
pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan.
Masalah pertama dan kedua yang akan menjadi pusat perhatian, upaya untuk
membuka pasar secara luas terhadap produk-produk UKM merupakan hal yang utama.
Begitu pula upaya-upaya pendampingan dalam penguatan dan pengembangan usaha UKM
masih terbuka untuk dijalankan.
IV. Penutup
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas, maka kesimpulan yang bisa diketengahkan adalah sebagai berikut:
1. Upaya pengentasan
kemiskinan dapat dilakukan dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri,
antara lain dengan memperluas akses Usaha Kecil dan Mikro (UKM) dalam
mendapatkan fasilitas permodalan yang tidak hanya bersumber dari lembaga
keuangan formal tapi juga dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
2. LKM ternyata mampu
memberikan berbagai jenis pembiayaan kepada UKM walaupun tidak sebesar lembaga
keuangan formal, sehingga dapat menjadi alternatif pembiayaan yang cukup
potensial mengingat sebagian besar pelaku UKM belum memanfaatkan
lembaga-lembaga keuangan.
3. Potensi yang cukup besar tersebut
belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena LKM masih menghadapi berbagai
kendala dan keterbatasan antara lain aspek kelembagaan yang tumpah tindih,
keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan LKM dan kecukupan modal.
4. Upaya untuk
menguatkan dan mengembangkan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan
nasional, diantaranya yang mendesak adalah menuntaskan RUU tentang LKM agar
terdapat kejelasan dalam pengembangan LKM. Serta komitmen pemerintah dalam
memperkuat UKM sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengembangan LKM.
4.2 Saran
Sedangkan
saran yang relevan dengan pengembangan LKM mencakup:
1. Perlunya strategi jangka panjang yang jelas dalam pengembangan
LKM baik cetak biru maupun kelembagaannya sebagaimana strategi yang telah
berjalan pada industri perbankan, mengingat kontribusi LKM yang cukup besar
dalam pengembangan UKM
2. Perlunya pendalaman dan pengkajian yang lebih intensif tentang
karakteristik LKM di Indonesia, agar RUU tentang LKM yang dihasilkan nanti akan
menjadikan LKM semakin berkembang dan tangguh bukan sebaliknya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Analisis Jurnal :
1.
Tahun : 2005
2.
Pengarang : Wiloejo
Wirjo Wijono
3.
Tema : Ekonomi Perbankan dan Ekonomi Mikro
4. Judul : “PEMBERDAYAAN
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SEBAGAI SALAH SATU PILAR SISTEM KEUANGAN NASIONAL: UPAYA KONKRIT MEMUTUS MATA RANTAI KEMISKINAN”
5. Masalah
:
(1) Bagaimana menjadikan LKM
semakin berkembang bahkan menjadi salah satu pilar dari sistem keuangan
nasional?
(2) Bagaimana meningkatkan
peran LKM dalam mendukung pemberdayaan UKM?
6.
Motivasi penulisan :
a.
Menganalisis peranan LKM sebagai sumber pembiayaan UKM,
b.
Menganalisis potensi dan permasalahan LKM yang dapat dijadikan sebagai dasar
pengembangan di masa depan, yang memungkinkan menjadi salah satu pilar sistem
keuangan nasional.
7. Metodologi penelitian : Data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber
dari publikasi Badan Pusat Statistik, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah, Bank Indonesia, Pegadaian, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk)
serta sumber lainnya yang terkait. Sementara alat analisis yang dipakai adalah
bersifat deskriptif. Studi kepustakaan, baik yang berasal dari buku teks maupun
jurnal/majalah merupakan sumber yang sangat penting, begitu pula diskusi dengan
teman seprofesi guna mempertajam analisisnya.
8. Pembahasan :
Upaya pengentasan kemiskinan dapat
dilakukan dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, antara lain dengan
memperluas akses Usaha Kecil dan Mikro (UKM) dalam mendapatkan fasilitas
permodalan yang tidak hanya bersumber dari lembaga keuangan formal tapi juga
dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Upaya untuk menguatkan dan
mengembangkan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional,
diantaranya yang mendesak adalah menuntaskan RUU tentang LKM agar terdapat
kejelasan dalam pengembangan LKM. Serta komitmen pemerintah dalam memperkuat
UKM sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengembangan LKM
Dalam perjalanannya, banyak hambatan yang muncul seiring
perkembangan LKM. Maka upaya-upaya yang dapat dilakukan guna mengembangkan LKM
dan bahkan menjadikannya sebagai bagian dari sistem keuangan nasional yang
mencakup:
- Memperkuat kelembagaan LKM
- Komitmen dalam Memperkuat UKM
9. Kesimpulan : agar dapat mengentaskan kemiskinan adalah memperkuat sektor
UKM dan LKM dengan cara memperkuat kelembagaan LKM dan juga komitmen dalam
memperkuat UKM.
10. Saran : UKM dan LKM lebih diperhatikan lagi perkembangannya agar dapat
membantu keuangan nasional.